KOOLOM

Stay informed and read latest news from Koo

HomeKoolom

Kisah Kassa

1 Mei 2024

Kisah Kassa

Gefira Nur Fauzia


Rumah berlapis cat putih kusam itu selalu menjadi pelabuhanku setelah suntuk menerima ribuan kata oleh pembimbing. Hari ini aku memutuskan untuk berlabuh lama dan menikmati apa saja yang rumah itu tawarkan. Ayunan yang telah usang itu menyambut hangat, kaki jenjangku menghampirinya. Seperti biasanya, aku selalu duduk di ayunan itu sembari menunggu kedatangan seseorang. Seseorang yang selalu kunanti setelah menghadapi suntuknya dunia.

“Hari ini es krim stroberi!” Terdengar suara dari belakang, lantas aku menoleh.

Pria itu tersenyum dengan kedua mata teduhnya yang menyipit. Sempurna.

Aku hanya tersenyum menunggu dirinya duduk di sampingku, tepat di ayunan yang tergantung. Kedua tangannya menggenggam kedua cone es krim, rasa stroberi dan cokelat. Tentunya es krim dengan rasa stroberi menjadi milikku, sedangkan yang cokelat berhasil leleh di mulutnya. 

“Terima kasih, Ka!” 

Pria itu tersenyum kembali. Sejujurnya aku menunggu cerita darinya, tetapi antusiasnya dalam menikmati es krim membuatku mengurungkan niat. Es krim stroberi yang ada di hadapanku tak lebih teduh dari senyum pria itu. Ini bukan pasal paras, jiwa karismatik dan pengetahuan yang ia miliki berhasil memancarkan aura positifnya. Kami memang sepantaran, tetapi banyak hal yang aku pelajari darinya. Mulai dari pengetahuan umum bahkan hal-hal kecil yang dianggap sepele tetapi perlu diperhatikan keberadaannya.

Belum sempat memulai percakapan, setelah ia melahap ujung cone terakhir, ia memposisikan duduknya condong ke arahku, “aku ada cerita!”

Lantas kedua mataku berbinar, suaranya yang renyah berhasil membuatku menggebu-gebu untuk mendengarkannya, “I’m ready for those stories!”

Pria itu tersenyum, lagi-lagi suasana menjadi teduh. Kedua tangannya bergerak mengikuti perkataannya, “Aku baru saja mempelajari hal mengenai bagaimana musik dapat mempengaruhi kehidupan kita. Ternyata dampaknya sangat mengejutkan!”

Tak banyak tanggapan yang perlu kulakukan, hanya mengangguk dan memainkan mata. Aku takut tanggapanku merusak suasana teduh dan penuh semangat ini. Terlebih lagi pria itu pasti selalu memberi tanggapan balik yang membuatnya lupa dengan apa yang ia sampaikan.

“Seperti kerja sistem word of affirmation, mereka dapat merubah nasib seseorang berdasarkan apa yang mereka katakan hingga resapi. Musik pun begitu, semakin kita mendengarkan dan resapi makna yang terkandung, semakin kita masuk ke dalam dunia yang dibuat oleh musik itu sendiri.”

“Sejujurnya aku takut, playlist-ku kebanyakan lagu sedih. Bagaimana tidak, hanya lagu sedih yang membuat otakku semakin encer untuk dipakai,” lanjutnya sembari termenung.

Kurasa, pada kesempatan kali ini aku akan membuka mulut dan menanggapinya. Benar, ini adalah waktu yang tepat untuk menanggapi dan menyanggahnya.

Same here, Ka! Namun, apakah kau penasaran mengapa musik sedih membuat otak kita bekerja lebih optimal? Aku selalu bertanya-tanya mengenai hal tersebut, pertanyaan itu selalu berputar memenuhi otakku,” balasku sembari memegang kepalaku seolah sakit kepala.

Tawa pria itu meledak. Aku tak mengada-ada, banyak kupu-kupu beterbangan yang muncul dari dirinya. Entah itu nyata atau ilusi, pemandangan itu membuat serotonin-ku meningkat. Energi apa yang telah ia keluarkan hingga dapat memunculkan keajaiban itu,

“Pertanyaan yang perlu kita diskusikan lebih lanjut, aku benar-benar penasaran, Kia!” Ujarnya gemas sembari mengacak-acak rambutnya.

Aku berpikir sejenak, memutar kembali ingatan mengapa otakku lebih optimal jika digunakan saat mendengarkan lagu sedih. Hal-hal yang muncul ketika mendengarkan lagu menyedihkan, selalu membawaku untuk menjadi lebih baik. Otakku mengakumulasikan hal-hal sedih dan buruk yang telah terjadi maupun belum menimpaku, lalu sel-sel otak berusaha bertahan dengan memberi energi untuk berjuang dan keluar dari kesedihan itu. Jadi, mungkin ini terdengar aneh, ketika aku mendengarkan musik sedih, hal baik juga terlintas dibenakku. Ilustrasi hal baik itu memompa dopamin agar jiwaku tetap bangkit.

Pria itu terdiam, sorot matanya tergantung pada langit-langit yang tertutupi oleh rimbunnya pepohonan. Sesekali ia bergumam, seakan sedang merumuskan sesuatu. Aku tersenyum simpul melihatnya, cara dia tenang saat berpikir membuatku kagum. Hal sederhana yang selalu kunikmati setiap siang menjelang senjanya. 

“Aku selalu merasakan motivasi timbul ketika aku sedih,” tuturnya tipis.

Lantas aku terkejut, “same here!”

Kami diam sejenak lalu tertawa. Sudah berapa kalinya kami memiliki pendapat yang sama. Senang sekali rasanya dengan fakta itu, jiwa kita terasa terhubung satu sama lain. Kehidupan terasa lebih bermakna pada setiap detiknya. 

Pria itu kembali membuka mulut, banyak kalimat yang segera ia ucapkan. Aku semakin hanyut dalam pembicaraan dengan kaki yang mengayun lembut. Dia mengungkapkan bahwa ketika sedang mendengarkan lagu sedih, terjadilah produksi hormon endorfin sehingga memberikan efek lebih baik dan meredakan stres. Mungkin fakta tersebut dapat membabat habis pertanyaan iseng kami. Namun, tentunya aku skeptis. Hal yang aku rasakan condong ke gejolak kemarahan positif yang membeludak. Kobaran api motivasilah yang terbentuk, bukan rasa lega yang tercipta.

“Semakin rumit,” gumamnya.

“Bukan rumit, tetapi kita yang belum tahu faktanya lebih jelas tentang hal tersebut. Apa perlu kita menjelajah seisi perpustakaan dan melakukan penelitian mendalam?”

Dia tertawa, matanya menyipit. Sangat indah. 

“Cepat atau lambat, kita segera menemukan jawaban,” ujarnya dengan mata yang mengawang ke langit-langit.

Belum sempat aku menanggapi kalimat pria itu, datanglah nenek pemilik rumah putih kusam itu. Kedua tangannya sibuk membawa nampan yang berisikan setoples biskuit dan dua cangkir teh yang aromanya menyerbak hingga penjuru taman. Aku tersenyum sembari berlari membantunya melangkah menuju ayunan.

Beliau tersenyum, guratan keriputnya terlihat nyata saat itu. Aroma teh yang beliau bawa semakin menguasai rongga penciumanku. Lantas aku tersenyum ketika sadar bahwa nenek membawa setoples kue mentega kesukaanku.

“Kue mentega kesukaanmu, Kia!” Ucap Nenek dengan antusias.

“Terima kasih, Nenek!” Balasku sembari melingkarkan kedua tangan pada pergelangan perut beliau.

Nenek selalu menemani soreku, walaupun terkadang hanya Kassa, Pria yang selalu berdiskusi ria denganku. Banyak kudapan yang selalu nenek sajikan, entah kue kering hingga makanan berat sekalipun. Tidak ada hasil masakan nenek yang mengecewakan, cita rasa yang ada selalu berputar di otak hingga tak dapat dilupakan. 

“Kia sibuk?” Tanya Nenek lembut sembari meletakkan nampan di meja dekat ayunan.

Tentunya aku menggeleng pelan, “hanya berdiskusi ringan dengan Kassa.”

“Terdengar seru, boleh bergabung?”

Kedua manik mataku beralih menuju Kassa, terlihat percikan antusias pada dirinya. Kuanggap hal tersebut adalah persetujuan tersirat. Pandanganku beralih kepada nenek lalu tertawa ringan, “boleh, Nek!”

“Buku bisa berbicara?”

Baru saja ingin mengucap sepatah kata, kulihat seorang lelaki berlari ke arah kami. Bajunya kumal oleh peluh yang melimpah. Nafasnya yang tersenggal-senggal menderu, aku mendengarnya jelas. 

“Nenek, ayo ke dalam sebentar,” ajaknya.

Nenek menggeleng, “beri aku waktu untuk berbicara dengan cucuku.”

Sosok itu tersenyum lalu membantu nenek berdiri, “setelah minum suplemen, nenek bisa berbicara sepuasnya dengan cucu nenek. Adam janji, Nek!”

Entah energi dari mana, kepalaku mengangguk untuk meyakinkan. Kepergian nenek menerbangkan kepingan atom tubuhku, hilang lenyap oleh efek suplemen sebanyak 12 butir.


Writer : Gefira

Illustrator : Arsy

You must Register or Login to post a comment