Stay informed and read latest news from Koo
24 Maret 2024
Oleh Theresa (Intern Koomik ID)
AKU INGAT SEKALI, bahwa hanya dia, satu-satunya orang yang ingin berteman denganku saat itu. Dia tidak pernah memedulikan berbagai rumor buruk yang melekat erat padaku dan setiap harinya, dia selalu bersikeras agar bisa dekat hingga berkenalan denganku, sekeras apapun usahaku untuk menolaknya.
Dia adalah orang yang sangat berharga bagiku. Seseorang yang telah mengangkatku dari hari-hari kelam di sekolah yang membuatku hampir saja gila dan membuatku ingin menyerah pada kehidupan. Padahal, aku jelas mengingatnya. Bagaimana anak kelas mengataiku dengan julukan: ‘Kala anak monster, Kala pembunuh berdarah dingin!’ Kata mereka, seorang monster itu tidak selayaknya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari siapapun. Harus dijauhi agar tidak menambah korban lebih banyak lagi.
Jelas, tidak ada yang membelaku, bahkan guru seolah menutup mata atas perlakuan anak kelas kepadaku. Bahkan sebenarnya, mungkin, beberapa dari pengajar itu pun ikut membela aksi anak-anak konyol itu untuk menindasku. ‘Seorang monster yang tega membunuh seluruh keluarganya tanpa ampun jangan pernah sekali pun untuk berhak berpikir mendapatkan kebahagiaan dari kehidupan ini,’ begitu kira-kira perkataan orang dewasa itu.
Aku tidak pernah ingin membalas seluruh perlakuan itu. Hingga di suatu hari, dia menghampiri meja belajarku dan menggebraknya sekuat tenaga hingga seluruh perhatian berpusat ke arahku dan dirinya.
“Memangnya kau itu seorang monster?” ucapnya hari itu tanpa ada rasa takut akan tatap sinis seluruh anak kelas yang mendelik ke arah kami.
Saat itu, aku takut sekali. Bahkan ketika aku kembali mengingat hari itu, rasa takut itu masih terasa sama. Yang benar saja, entah dari mana, muncul seorang anak laki-laki yang tak pernah dekat atau berbicara denganku di kelas tiba-tiba memukul mejaku dengan sangat keras hingga membuat keadaan kelas mendadak hening seketika. Omongan jelek tentangku yang biasa mereka dendangkan setiap harinya itu seketika menguap entah ke mana.
Aku sungguh ingin memarahinya karena tindak bodohnya, tetapi aku sama sekali tidak mengingat namanya, padahal jelas ia satu kelas denganku. Namun karena aku yang memang tidak punya nyali untuk mengatakan hal itu, akhirnya hanya bisa berdiam diri dan menyembunyikan seluruh wajahku di balik meja di depanku.
“Hei, kau dengarkan ini baik-baik. Kau itu bukan seorang monster. Kau itu bukan pembunuh. Aku tidak percaya jika kau yang sudah membunuh keluargamu sendiri. Yang aku percaya adalah jika hal itu hanyalah sebuah kecelakaan. Dan kau dengan santai membiarkan rumor murahan itu melekat padamu dan membuatmu menjadi bahan ejekan satu sekolah?”
Walau wajahnya saat itu tampak meyakinkanku, detik selanjutnya perasaan ‘pasrah pada kenyataan’ lebih menggelayuti seluruh pikiranku.
“Tapi itu fakta—”
“Bagian mananya?”
“Soal keluargaku … yang terbunuh.”
“Tapi itu bukan salahmu!” Dia menggebrak mejaku kembali.
Aku mencengkeram rok yang kukenakan sembari terus menunduk. “Salahku atau tidak … tidak akan mengubah kenyataan bahwa aku dibenci. Tidak akan ada yang membelaku….”
“Ada aku! Entah apa yang dipikirkan anak kelas, aku akan memercayaimu. Aku mau jadi kenalan, partner, atau apalah sebutan teman itu. Aku siap membelamu kapanpun!”
Aku, ingat sekali. Siang itu, hujan turun masih cukup deras karena awan mendung sejak pagi sudah mengitari gedung sekolah kami dengan kilat petir sesekali menyambar. Rintik hujan yang tidak sedikit jatuh pada lembaran daun sebelum akhirnya mendarat sepenuhnya ke tanah. Tapi perkataannya detik itu, seolah-olah berhasil menutup indra pendengaranku sepenuhnya.
Hanya perkataanya itu yang terngiang di dalam kepalaku. Dia mau … menerima orang gagal sepertiku masuk ke dalam kehidupannya. Ia mau memercayaiku. Tapi, kenapa?
“Kadangkala, pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali. Padahal jawabannya sederhana saja,” sambung kalimatnya sambil tersenyum tipis.
“Aku menyukaimu.”
Setelah itu, yang aku ingat hanya air mataku yang turun entah sederas apa. Aku tidak bisa berhenti menangis. Dan sejak saat itu, ia selalu berada di sisiku, walau hanya sesaaat.
Lima tahun berlalu.
***
“Hei, tukang tidur. Bangun atau kami tinggal, ya.” Aku tersentak, dan pemandangan pertama yang muncul di hadapanku adalah wajah Rana, teman kampusku.
Aku melihat sekeliling. Ruang kelas. Hanya tersisa kami bertiga. Rupanya aku sempat tertidur ketika salah satu dosen mata kuliah kami tengah menjelaskan materi. Syukurlah tidak ada yang menyadarinya.
Lagi-lagi, aku memimpikan hari itu. Padahal sudah lama sekali namun rasanya seolah olah baru saja terjadi kemarin. Sudah lima tahun. Karena dirinya, aku pun bisa menjadi diriku yang sekarang. Diriku yang jauh lebih ceria dan terbuka kepada orang banyak dari masa-masa sekolah menengah pertama dahulu.
Diriku yang berhasil terbebas dari rumor buruk tentang kematian seluruh keluargaku dengan naas karena kecelakaan beruntun. Pada tragedi itu, hanya aku yang selamat. Keberaniannya serta aksi heroiknya dahulu untuk mengajakku untuk berteman
dengannya, kini membuatku menghilangkan perasaan negatif itu seluruhnya untuk membunuh diriku sendiri. Dan bahkan, aku malu jika waktu itu aku sempat memikirkan cara buruk itu untuk mengakhiri hidup. Benar-benar masa yang kelam.
Aku membereskan buku tulisku yang berada di meja, memasukkannya dalam tas dan meninggalkan ruang kelas ditemani Rana dan Maya yang masih setia menemaniku. “Dan di hari terakhir semester tiga kau malah sibuk bermimpi indah, ya? Cerita, dong!”
Walau dalam perjalanan pulang Rana tampak mengoceh karena aku sempat tertidur selama kelas berlangsung, sebenarnya aku mengetahui bahwa ia sedang menyembunyikan perasaan senangnya sejak tadi karena mulai besok gadis itu tidak perlu bangun awal untuk berangkat ke kampus karena hari libur semesteran sudah ada di depan mata kami.
Tahu-tahu, aku sudah mau memasuki tahun ke kedua di perguruan tinggi. Di sini, aku juga memiliki dua sahabat baik yang mau menerimaku apa adanya seperti Rana dan Maya. Tidak membutuhkan waktu lama untukku mengakrabkan diri dengan mereka berdua.
Hei, andai kau juga ada di tengah-tengah kami, pasti akan sangat menyenangkan sekali. Sifatmu yang sangat mudah tersulut emosi pasti akan cocok untuk saling adu mulut dengan Rana yang tampangnya seperti seorang cowok. Kupikir akan cukup sulit memisahkan kalian berdua kalau kalian sudah berbeda suatu pendapat. Walau begitu, mungkin aku dan Maya hanya akan asyik menonton kalian sedang adu jotos, bukan?
Lalu, Maya. Kau pun akan menyukai kepribadiannya. Sifatku dan Maya memiliki banyak kesamaan. Mungkin kau akan berekspresi: ‘Nah, lihat itu. Kau dan Maya terlihat seperti saudara kandung saja!’ sambil memperlihatkan mata yang selalu berbinar itu.
Padahal, rasanya belum lama sejak kau menawarkan pertemanan itu padaku. Tapi kenapa harus berakhir secepat ini? Andai aku tahu kebenarannya lebih cepat, andai aku bisa mengenalmu jauh sebelum kau menghampiri mejaku hari itu.
Setidaknya … aku tidak perlu melihatmu semenderita itu, kan?
Begitu aku berpisah jalan dengan Rana dan Maya, aku tidak langsung berjalan menuju rumah. Walau berat, setidaknya aku ingin mengunjungi tempat itu barang sebentar saja. Aku menarik napasku kuat-kuat. Suasananya menjadi lebih hening sekarang.
“Hai. Aku kemari lagi.” Tak ada yang menjawabku. Hanya terdengar suara angin sepoi sepoi yang menyapu dedaunan tempat itu.
“Maaf ya, kalau aku jadi jarang kemari. Kau tahu betapa banyaknya tugas anak kuliah di semester sekarang. Terlebih disaat menjelang libur begini. Bahkan ada ujian akhir juga! Aku sampai jadi sering tidak tidur demi mengejar tenggat waktu!”
Aku perlahan duduk dan memeluk lututku di sampingnya. Aku menghela napas sembari memandangi langit petang yang sebentar lagi menurunkan derasnya air dari atas langit. Teringat sesuatu yang sejak tadi kubawa, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku.
“Ah, kau ingat ini? Ini gelang tali milikmu yang kau berikan saat kau bilang tanda kalau kita berteman pertama kali. Entah kenapa aku jadi selalu membawanya, siapa tahu saja kau akan mendatangiku dan bertanya ada di mana gelang itu sekarang.” Aku terdiam sesaat.
“Aku selalu berharap begitu, tapi … aku sudah menduganya kau tidak akan menanyakannya kembali karena memang tidak mungkin. Karena itu, aku akan meletakkannya di sini karena bagaimana pun ini milikmu. Jadi, aku kembalikan punyamu."
Angin sepoi-sepoi kembali berembus membelai rambutku yang tidak sempat kuikat. Langit benar-benar tengah bersedih hari ini, aku khawatir jika aku tetap berlama-lama bersamanya aku akan sampai di rumah dengan seluruh pakaian basah kuyup.
“Nah, karena sebentar lagi hujan, aku akan pulang. Aku akan berusaha meluangkan waktu liburanku untuk menemuimu lagi, ya. Semoga!” Ah sial, air mata ini benar keluar.
“Niel baik-baik, ya. Setidaknya Niel sudah bahagia di atas sana. Niel tidak perlu menderita lagi karena penyakit kanker yang menggerogoti tubuhmu selama tiga tahun belakangan ini. Aku akan tetap mengingat kenangan indah dan kebaikan yang pernah kau lakukan untukku, jadi aku harap…”
Suatu hari aku bisa memberikan kebaikan kecil lainnya pada orang lain, sama seperti yang kau lakukan kepadaku dan bisa merubah kehidupan ini menjadi lebih baik.
Aku menatap nanar batu nisan yang berada tepat di depanku.
“Maaf Niel, hari itu aku belum bisa menjawab pernyataanmu. Andai waktu bisa berputar, aku ingin mengungkapkan hal sama padamu. Sungguh.”
Kalau aku, suka pada laki-laki ini. Walau sudah sangat terlambat untuk mengatakannya. Suatu hari nanti, aku berharap aku bisa mengatakan padanya jika aku mencintainya setulus hatiku. Dan bukan sebagai teman yang sudah menolong hidupku.
Di kehidupan kami yang selanjutnya.
***
Writer : Theresa
Illustrator : Bia
You must Register or Login to post a comment